“Alangkah terkejutnya anak ini melihat patung guru tidak lagi kuning berkilauan karena lapisan emasnya sudah berubah hitam kehijauan, tak se dap dipandang mata. Dia kemudian lari berteriak sepanjang jalan,..” kulit emas Patung Guru sudah terkelupas... lapisan emas Patung Guru sudah terkikis habis... Patung Guru hitam pekat seperti hantu... “Semua orang mendengar teriakan itu. Teriakan ini diulang dari mulut ke mulut. Radio kota turut menyiarkan berita itu. Seluruh kota men jadi gempar. Maka tidak seperti biasanya, seluruh penduduk membanjiri alun-alun untuk melihat Pa tung Guru. Idiih..., sungguh menjijikkan rupa Pa tung Guru sekarang. Mana lapisan emasnya ? ki ni hitam pekat, pedih mata melihatnya, mual perut karenanya” (Cerpen Patung Guru, 1984).
Begitulah kira-kira gambaran “status praesens”” (masa kininya) profesi guru. Guru sebagai salah satu sub komponen input instrumental, meru pakan bagian dari sistem yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Tidak berlebihan bila dika takan bahwa sukses tidaknya pendidikan bangsa terletak ditangan guru. Namun anehnya, guru sebagai sebuah citra, guru sebagai profesi justru menga lami involusi. Guru dikunci mati pada kedudukannya sebagai instrumen.
“Status praesens” guru hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Komplain, opini, usul serta beragam protes, terutama yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, yang secara pasti akan berpengaruh terhadap citra dan martabat profesi guru, lenyap begitu saja atau berhenti dita raf “kami tampung”.
Lebih dari itu, sebagaimana tersirat pada cerpen Patung Guru (yang tidak lagi terawat tersebut) diatas, posisi sosial guru dalam status masyarakat pun, tampaknya juga mulai bergeser. Guru tidak lagi memiliki legitimasi sosial terhormat dan bermar tabat. Guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal, guru tidak la gi dijadikan sebagai patron teladan. Peran guru di masyarakat sebagai sumber informasi digantikan oleh “anak buah” teknologi yang lebih canggih lewat media televisi dan internet. Makna luhur yang tersirat dibalik Hynne guru “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” pun nadanya telah berubah menjadi sebuah elegi getir yang sarat parodi dan sindiran.
Sosok guru yang bermartabat dan terhormat pernah muncul ketika institusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan dan padepokan yang begitu bersahaja. Konon, guru atau resi pada masa itu benar-benar menjadi figur panutan, pinunjul, mum puni, berwibawa, dan disegani. Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka” , tempat seorang resi menggembleng para siswa (cantik) agar kelak menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan moral dan sosial yang tinggi. Di mata masyarakat, kehadiran sang resi begitu tinggi citranya. Bermartabat, terhormat, dan memiliki legiti masi sosial yang mengagumkan. Masyarakat be nar-benar respek terhadapya. Apresiasi masyarakat terhadap profesi resi atau guru menjadi sumber informasi, sumber “sugesti”, atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah keseharian.
Apakah guru masa kini masih mampu mengintemalisasi sifat-sifat seorang resi dalam mengem ban misinya sebagai pengajar atau pendidik ? Ma sihkah masyarakat menghargai atau memiliki apresiasi yang baik terhadap profesi guru ? Agaknya, mengharapkan sosok guru yang pinunjul, mumpu ni, dan disegani terlalu berlebihan pada saat ini. di hadapan siswanya, kata-kata guru bukan lagi “sab da panditiratu” yang mesti diturut. Bahkan dalam banyak hal, guru harus lebih sering mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Be lum lagi aksi-aksi pelecehan (harassment) yang menimpa seorang guru. Seperti aksi pemukulan se jumlah siswa terhadap seorang guru pengawas UAN pada salah satu SMA di Jawa Timur yang ter jadi beberapa waktu yang lalu. Sebuah pengharga an yang kurang beruntung dari sebuah profesi mu lia. Bahkan dengan tingkat kesejahteraan yang mi nim, status sosial guru semakin tersisih ditengah-tengah masyarakat yang mendewakan hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan.
Guru pada masa kini, tampaknya telah ditindih banyak beban. Pertama, tugas berat yang diemban nya kurang diimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang memadai. Gaji guru yang kecilpun masih dipe ras dengan beragam potongan dengan dalih untuk keperluan dana sosial, asuransi, urusan korps atau pungutan lainnya. Anehnya, guru tidak bisa berkutik. Sikap penuh nilai pengabdian, loyalitas, dan tanpa pamrih, agaknya telah membuat guru tak mau ber singgungan dengan konflik. Mereka memilih diam daripada menyuarakan kenyataan pahit yang dira sakannya.
Kedua, guru sering dijadikan “kendaraan” untuk kepentingan tertentu. Guru tidak banyak pilihan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat telah dibatasi oleh simbol-simbol tertentu. Guru harus menjadi sosok yang nrimo, pasrah, dan tidak banyak menuntut.
Ketiga, harapan masyarakat yang terlalu “perfeksionis” dan berlebihan. Dalam kondisi yang tidak menentu, masyarakat tetap menuntut agar guru memiliki idealisme sebagai figur pengajar dan pen didik yang bersih dari cacat hukum dan moral. Gerak gerik guru selalu menjadi sorotan. Melakukan pe nyimpangan moral sedikit saja, masyarakat ramai-ramai menghujatnya. Ironisnya, harapan yang ber lebihan itu tidak diimbangi dengan apresiasi masya rakat yang proporsional. Profesi guru dimata masya rakat masa kini telah kehilangan pamomya, tidak la gi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia.
Dan Keempat, para siswa dan pelajar masa kini semakin masa bodoh terhadap persoalan-per soalan moral, terjebak kedalam sikap instan. Akibat nya, guru merasa kehilangan cara terbaik dan pu nya nilai edukatif dalam menangani prilaku pelajar. Beratnya beban yang mesti dipikul guru pada masa kini, jelas memerlukan atensi serius dari berbagai kalangan untuk memposisikan guru pada aras yang lebih proporsional dan manusiawi. Reaktualisasi peran dan gerakan penyadaran dari semua pihak sangat diharapkan untuk memulihkan citra guru. Tentu 8 saja misi luhur tersebut harus diimbangi dengan intensifya pendidikan keluarga sebagai ba sis penanaman dan pengakaran nilai moral, buda ya, dan agama kepada anak.
Disisi lain, pemerintah perlu memikirkan kembali perbaikan kesejahteraan guru. Dengan tingkat ke sejahteraan yang lebih baik dan manusiawi lagi, maka guru akan lebih terfokus pada tugasnya, se hingga tidak berfikir lagi untuk mencari pekerjaan sambilan sebagai tukang ojek, penjual rokok ketengan, atau makelar yang bisa menurunkan wibawa dan citra guru dimata masyarakat dan peserta didiknya. Tidak kalah pentingnya juga adalah apresiasi masyarakat yang cukup manusiawi tentang profesi guru. Memikirkan dan memberikan apresiasi yang cukup proporsional terhadap tugas mulia guru, iden tik dengan memikirkan nasib masa depan negeri ini. Bukan malah membalas “air susu” guru dengan air comberan, Semoga Patung Guru bisa terawat sehingga kembali kuning berkilauan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar