Rabu, 16 Desember 2009

Guru, bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa

“Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru…
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua jasamu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terimakasih ku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahalawan bangsa
. . . . . . . . . . . . . . . . “
Stop!!! Jangan dilanjutkan!





Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa pada tanggal 8 November 2007, Sartono, sebagai pencipta Hymne Guru, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph. D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli, telah menandatangani surat resmi tentang penggantian lirik terakhir dari Hymne Guru tersebut. Kata-kata “tanpa tanda jasa” diganti menjadi “pembangun insan cendekia”. Sehingga Hymne tersebut diakhiri dengan “Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia.” Sebuah langkah yang mungkin dirasa lumayan bijak untuk mengakhiri “penderitaan” guru yang tak kunjung hilang.
Guru seringkali menjadi korban ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Prediket pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah dimaknai dengan guru memang wajar jika tak mendapatkan balas jasa atas usahanya, atau minimal harus merasa cukup dengan balas jasa yang alakadarnya karma toh memang pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal makna hakiki dari “pahlwan tanpa tanda jasa” adalah bahwa jasa guru begitu besar sehingga tidak ada satu tanda jasapun yang sebanding untuk membalas jasa yang telah diberikannya.
Guru adalah tonggak pembangun dari sebuah bangsa. Gurulah yang memiliki peran besar dalam menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang berilmu dan berkualitas. Kita tentunya masih ingat saat Jepang dihancurkan oleh Sekutu dengan membombardir kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang ketika itu adalah berapa dari guru-guru mereka yang selamat. Mengapa yang ditanyakan bukan anggota parlemen, bukan dokter, pengusaha, atau arsitek (untuk merancang kota kembali mungkin!), mengapa harus guru dan mengapa bukan yang lain.
Dan mari kita saksikan apa yang terjadi dengan Jepang saat ini jika kita bandingkan dengan bangsa kita, “Indonesia tercinta”. Jepang melejit bagai roket, sedangkan kita bangsa Indonesia terseok-seok dilanda berbagai macam krisis, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan hingga moral. Padahal Jepang dan Indonesia bangkit dari keterpurukan pada saat yang sama. Jepang mulai bangkit kembali dari kehancurannya setelah tanggal 6&9 Agustus 1945, dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kenapa mereka lebih maju? Jawabnya karma mereka mampu berfikir bijak tentang apa yang semestinya dilakukan Mereka tahu bahwa majunya sebuah Negara sangat ditentukan oleh pendidikan. Kunci dari pendidikan itu adalah guru. dan pemerintah Jepang sangat menyadari hal itu. Maka lihatlah mereka sekarang. Jepang menjadi ikon untuk sebuah kemajuan. Sekarang mari lihat bagaimana keberadaan guru di Indonesia.
Gaji guru tetap rendah meski biaya pendidikan semakin tinggi. Kalau dihiting-hitung. adakalanya seorang guru ada yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya sendiri pada sekolah tempat dia mengajar. Apalgi kalau sekolah tersebut termasuk favorit, karena akan semakin tinggi biayanya Belum lagi kisah guru yang bahkan harus menjadi seorang pemulung untuk mencukupi biaya hidup keluarganya (lihat kisah “Kepala sekolahku seorang pemulung). Sebuah film documenter yang mendapat sambutan “wah” dari berbagai kalangan. Menyedihkan memang, bisa kita misalkan dengan ketika seorang guru mengajarkan kepada siswanya bahwa makanan yang baik itu adalah makanan 4 sehat 5 sempurna, justru pada saat yang sama dia sedang “megap-megap” memikirkan bagaimana memberi makan keluarganya dengan gaji yang tidak seberapa. Itu baru hanya agar dapat makan 3 kali sehari, apalagi memikirkan yang bergizi. Jauh . . . dan mungkin hanya mimpi!
Bagaimana dengan sertifikasi?
Pasti pertanyaan itu yang akan muncul kemudian. Bukankah setelah sertifikasi gaji guru saat ini menjadi lebih baik? Masalahnya sekarang adalah, dari semua guru yang ada di Indonesia, berapa persen yang sudah dapat sertifikasi? Tambahan, ini Indonesia Bung! jangan menutup mata dari banyaknya kolusi yang terjadi. Asal ada koneksi yang bisa memuluskan jalan, maka orang itulah yang pertama akan dapat sertifikasi, meski mungkin dia belum layak untuk mendapatkannya (mungkin ada yang akan berfikir bahwa ini hanya sentiment pribadi . . .tidak masalah, karma saya yakin orang itu pasti belum lama tinggal di Indonesia sehingga bisa jadi dia belum mengenal “apa” dan “siapa” “Indonesia” ! ^_^, sengaja dikasih tanda kutip agar pembaca bisa memaknainya sendiri)
Apa akibat dari rendahnya gaji guru terhadap dunia pendidikan?
Dalam hidup ini ada yang namanya factor sebab akibat. Secara teori, sebelum mengajar guru haruslah mempersiapkan bahan ajar, mulai dari media mengajar sampai bahan latihan, kapan perlu guru harus bisa lebih kreatif agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik bagi siswa. sehingga apa yang mereka ajarkan benar-benar matang dan gampang dicerna. Pastinya itu butuh waktu dan dana. Namun masalahnya adalah, banyak diantara guru-guru yang harus menggeluti pekerjaan sampingan untuk dapat menutupi biya hidup (terutama yang sudah berkeluarga). Akibatnya, mereka tidak punya waktu lagi untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Alhasil, proses belajar-mengajar di kelas menjadi monoton dan cendrung membosankan sehingga transfer ilmu menjadi tidak optimal. Lantas dengan kondisi seperti ini, apa kita pantas menyalahkan guru? terkadang kita juga harus belajar untuk menilai dengan manusiawi. Guru juga manusia. Mereka butuh makan untuk kelangsungan hidupnya.
Dalam hal ini saya bukan berarti membenarkan guru yang demikian, namun yang tidak bisa saya terima adalah ketika semua kesalahan ditimapakan kepada mereka. Bahkan ketika ada kasus pembocoran soal ujian pun, pasti guru yang disalahkan (tentang ini insya Allah akan saya bahas pada tulisan selanjutnya).
Ada sebuah budaya social dilingkungan kita (saya ambil daerah saya, West Sumatera) bahwa ketika ada seorang anak yang pintar, hebat dan berprestasi, maka lontaran yang keluar dari orang tuanya adalah “anak siapa dulu!”, tapi coba kita lihat ketika anaknya kurang cerdas (kalaupun tidak etis dibilang bodoh), nakal dan bikin susah orangtua, maka orang tuanya akan bilang, “Apa ini yang diajarkan guru kamu disekolah?”. Ini adalah sebuah ketidak adialan social yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Suka mencari kambing hitam. (mungkin karma yang putih jarang kali ya . . .)
Guru seringkali disalahkan atas ketidakberhasilan seorang anak. Guru dikambing hitamkan atas buruknya moral anak. Guru, guru dan guru lagi. Semua salah guru. Karma tugas guru adalah mendidik. Karma anak disekolahkan agar menjadi baik, agar pintar dan jadi orang. Jarang orang-orang yang paham bahwa tugas mendidik itu tidak hanya tugas sekolah, tugas guru. Tapi tugas semua aspek yang terkait dengan sang anak. Terutama orang tua. Kita ambil contoh mudah, jika disekolah siswa dilarang merokok, namun ketika si anak melihat ayahnya dirumah dengan santai merokok diruang keluarga, di depan anak-anaknya, lalu dimana salah guru ketika anak tersebut akhirnya menjadi perokok juga?
Ada fenomena menarik namun sangat disayangkan yang tejadi di abad ke-21 ini terkait dengan keseimbangan pendidikan yang didapat seorang anak dari sekolah dan dan orang tuanya. Saya masih ingat, ketika saya masih duduk di sekolah dasar hingga SMP (anda mungkin juga ingat bagaimana masa kecil anda), ketika saya dimarahi oleh guru disekolah, maka sedikitpun tidak terfikir untuk mengadukan hal itu ke ayah atau ibu saya. Yang ada justru saya takut seandainya mereka tahu, karna yang akan saya dapatkan adalah hukuman yang lebih lagi. Yang mereka pahami adalah kalau saya dimarahi guru berarti saya telah melakukan hal buruk di sekolah. Kalaupun saya mengadukan kepada mereka, maka hal yang mereka lakukan adalah bertanya kenapa sampai saya dimarahi, sehingga mereka akhirnya tahu bahwa saya memang telah melakukan hal yang tidak disenangi guru, berkelahi mungkin, atau mengusili teman hingga menangis. Tidak akan ada pembelaan apalagi sampai ada keinginan untuk “melabrak” guru tersebut karma berani memarahi anak kesayangannya.
Namun apa yang terjadi sekarang, saat ini, di sekolah-sekolah mulai SD hingga SMA. Atas nama HAM, guru tidak punya hal lagi untuk memarahi siswa apalagi sampai memukul pakai rotan (saya masih ingat, dulu tangan kami sering dipukuli rotan kalau tidak sholat), jangan pernah coba-coba memarahi siswa apalagi keponakan walikota, senakal apapun. Kalau anda seorang guru, dan anda melakukannya, siap-siap saja orang tua anak tersebut akan datang melabrak anda keesokan harinya. Ini pengalaman pribadi saya ketika sedang praktek lapangan di sebuah SMA terkenal di kota kelahiran saya.
Hasilnya? Silahkan sekarang anda mulai mengamati bagaimana perilaku kebanyakan anak sekolah. Tidak kenal sopan santun, bahkan kurang ajar terhadap guru. Tidak adalagi penghormatan apalagi merasa berhutang budi. Mungkin mereka berfikir uang 100 ribu yang mereka bayarkan setiap bulan sudah setimpal dengan harga ilmu yang mereka dapatkan. Atau mereka selama ini sudah diobok-obok oleh kalimat “guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” dalam Hymne Guru yang sudah dihapalkan sejak dari SD, sehingga merasa bahwa tidak perlu lagi hormat, toh mereka kan dibayar. Guru harus puas dengan prediket “tanpa tanda jasa”
Untuk itu, saya merasa sangat setuju dengan adanya penggantian lirik tersebut. Sehingga orang tidak lagi memandang status guru sebagai status yang hina, status rendahan bahkan mungkin sampai ada yang malu bercita-cita menjadi guru (karma jasanya tidak dibalas “kalau mau kaya jangan jadi guru”).
Guru adalah sosok yang mulia, tanpa guru tidak akan pernah ada kemajuan, karma tanpa guru, ilmu sebagai dasar sebuah kemajuan tidak akan pernah berpindah tempat, tanpa guru . . .kita bukan apa-apa, bahkan filsafah minangkabau mengatakan “ Alam Takambang Jadi Guru”. Karna guru adalah “Pembangun Insan Cendekia”, maka sudah saatnya guru mendapatkan tempat di hati kita, dihati setiap insan yang cinta ilmu, sudah saatnya guru mendapatkan perlakuan terhormat meski itu tak berarti meminta guru untuk menjadi orang yang gila kehormatan
Teruslah berjuang wahai guru, kembangkan sayapmu dibelantara dunia.

Untukmu negeri . . .
Bagimu Indonesia . . .
Guru-guru kami tercinta
Ada dan bekerja!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction