Rabu, 26 Mei 2010

Peter Firmansyah: Lewat Petersaysdenim Menembus Dunia



Sewaktu masih duduk di bangku SMA, Peter Firmansyah, pria kelahiran Sumedang 4 Februari 1984, terbiasa mengubek-ubek tumpukan baju di pedagang kaki lima. Kini, ia adalah pemilik usaha yang memproduksi busana yang sudah diekspor ke beberapa negara.

Tak butuh waktu relatif lama. Semua itu mampu dicapai Peter hanya dalam waktu 1,5 tahun sejak ia membuka usahanya pada November 2008. Kini, jins, kaus, dan topi yang menggunakan merek Petersaysdenim, bahkan, dikenakan para personel kelompok musik di luar negeri.

Sejumlah kelompok musik itu seperti Of Mice & Man, We Shot The Moon, dan Before Their Eyes, dari Amerika Serikat, I am Committing A Sin, dan Silverstein dari Kanada, serta Not Called Jinx dari Jerman sudah mengenal produksi Peter. Para personel kelompok musik itu bertubi-tubi menyampaikan pujiannya dalam situs Petersaysdenim.



Pada situs-situs internet kelompok musik itu, label Petersaysdenim juga tercantum sebagai sponsor. Petersaysdenim pun bersanding dengan merek-merek kelas dunia yang menjadi sponsor, seperti Gibson, Fender, Peavey, dan Macbeth.

Peter memasang harga jins mulai Rp 385.000, topi mulai Rp 200.000, tas mulai Rp 235.000, dan kaus mulai Rp 200.000. Hasrat Peter terhadap busana bermutu tumbuh saat ia masih SMA. Peter yang lalu menjadi pegawai toko pada tahun 2003 kenal dengan banyak konsumennya dari kalangan berada dan sering kumpul-kumpul. Ia kerap melihat teman-temannya mengenakan busana mahal.

”Saya hanya bisa menahan keinginan punya baju bagus. Mereka juga sering ke kelab, mabuk, dan ngebut pakai mobil, tapi saya tidak ikutan. Lagi pula, duit dari mana,” ujarnya.

Peter melihat, mereka tampak bangga, bahkan sombong dengan baju, celana, dan sepatu yang mereka dipakai. Harga celana jins saja, misalnya, bisa Rp 3 juta. ”Perasaan bangga seperti itulah yang ingin saya munculkan kalau konsumen mengenakan busana produk saya,” ujarnya.

Peter kecil akrab dengan kemiskinan. Sewaktu masih kanak-kanak, perusahaan tempat ayahnya bekerja bangkrut sehingga ayahnya harus bekerja serabutan. Peter pun mengalami masa suram. Orangtuanya harus berutang untuk membeli makanan.

Pernah mereka tak mampu membeli beras sehingga keluarga Peter hanya bergantung pada belas kasihan kerabatnya. ”Waktu itu kondisi ekonomi keluarga sangat sulit. Saya masih duduk di bangku SMP Al Ma’soem, Kabupaten Bandung,” kata Peter.

Sewaktu masih SMA, Peter terbiasa pergi ke kawasan perdagangan pakaian di Cibadak, yang oleh warga Bandung di pelesetkan sebagai Cimol alias Cibadak Mall, Bandung. Di kawasan itu dia berupaya mendapatkan produk bermerek, tetapi murah. Cimol saat ini sudah tidak ada lagi. Dulu terkenal sebagai tempat menjajakan busana yang dijual dalam tumpukan.

Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Widyatama, Bandung. Namun, biaya masuk perguruan tinggi dirasakan sangat berat, hingga Rp 5 juta. Uang itu pemberian kakeknya sebelum wafat. Tetapi, tak sampai sebulan Peter memutuskan keluar karena kekurangan biaya. Ia berselisih dengan orangtuanya—perselisihan yang sempat disesali Peter—karena sudah menghabiskan biaya besar.

Ia benar-benar memulai usahanya dari nol. Pendapatan selama menjadi pegawai toko disisihkan untuk mengumpulkan modal. Di sela-sela pekerjaannya, ia juga mengerjakan pesanan membuat busana. Dalam sebulan, Peter rata-rata membuat 100 potong jaket, sweter, atau kaus. Keuntungan yang diperoleh antara Rp 10.000- Rp 20.000 per potong.

”Gaji saya hanya sekitar Rp 1 juta per bulan, tetapi hasil dari pekerjaan sampingan bisa mencapai Rp 2 juta, he-he-he…,” kata Peter. Penghasilan sampingan itu ia dapatkan selama dua tahun waktu menjadi pegawai toko hingga 2005.

Pengalaman pahit juga pernah dialami Peter. Pada tahun 2008, misalnya, ia pernah ditipu temannya sendiri yang menyanggupi mengerjakan pesanan senilai Rp 14 juta. Pesanannya tak dikerjakan, sementara uang muka Rp 7 juta dibawa kabur. Pada 2007, Peter juga mengerjakan pesanan jins senilai Rp 30 juta, tetapi pemesan menolak membayar dengan alasan jins itu tak sesuai keinginannya.

”Akhirnya saya terpaksa nombok. Jins dijual murah daripada tidak jadi apa-apa. Tetapi, saya berusaha untuk tidak patah semangat,” ujarnya.

Belajar menjahit, memotong, dan membuat desain juga dilakukan sendiri. Sewaktu masih sekolah di SMA Negeri 1 Cicalengka, Kabupaten Bandung, Peter juga sempat belajar menyablon. Ia berprinsip, siapa pun yang tahu cara membuat pakaian bisa dijadikan guru.

”Saya banyak belajar sejak lima tahun lalu saat sering keliling ke toko, pabrik, atau penjahit,” katanya. Ia juga banyak bertanya cara mengirim produk ke luar negeri. Proses ekspor dipelajari sendiri dengan bertanya ke agen-agen pengiriman paket.

Sejak 2007, Peter sudah sanggup membiayai pendidikan tiga adiknya. Seorang di antaranya sudah lulus dari perguruan tinggi dan bekerja. Peter bertekad mendorong dua adiknya yang lain untuk menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana. Ia, bahkan, bisa membelikan mobil untuk orangtuanya dan merenovasi rumah mereka di Jalan Padasuka, Bandung.

”Kerja keras dan doa orangtua, kedua faktor itulah yang mendorong saya bisa sukses. Saya memang ingin membuat senang orangtua,” katanya. Jika dananya sudah mencukupi, ia ingin orangtuanya juga bisa menunaikan ibadah haji.

Meski kuliahnya tak rampung, Peter kini sering mengisi seminar-seminar di kampus. Ia ingin memberikan semangat kepada mereka yang berniat membuka usaha. ”Mau anak kuli, buruh, atau petani, kalau punya keinginan dan bekerja keras, pasti ada jalan seperti saya menjalankan usaha ini,” ujarnya.

Merek Petersaysdenim berasal dari Peter Says Sorry, nama kelompok musik. Posisi Peter dalam kelompok musik itu sebagai vokalis. ”Saya sebenarnya bingung mencari nama. Ya, sudah karena saya menjual produk denim, nama mereknya jadi Petersaysdenim,” ujarnya tertawa.

Peter memanfaatkan fungsi jejaring sosial di internet, seperti Facebook, Twitter, dan surat elektronik untuk promosi dan berkomunikasi dengan pengguna Petersaysdenim. ”Juli nanti saya rencana mau ke Kanada untuk bisnis. Teman-teman musisi di sana mau ketemu,” katanya.

Akan tetapi, ajakan bertemu itu baru dipenuhi jika urusan bisnis selesai. Ajakan itu juga bukan main-main karena Peter diperbolehkan ikut berkeliling tur dengan bus khusus mereka. Personel kelompok musik lainnya menuturkan, jika sempat berkunjung ke Indonesia ia sangat ingin bertemu Peter. Ia melebarkan sayap bisnis untuk memperlihatkan eksistensi Petersaysdenim terhadap konsumen asing.

”Pokoknya, saya mau ’menjajah’ negara-negara lain. Saya ingin tunjukkan bahwa Indonesia, khususnya Bandung, punya produk berkualitas,” ujarnya.

Sumber: Kompas

Rabu, 19 Mei 2010

I Gde Wenten: Penemu IGW Emergency Pump



Dr. Ir. I Gde Wenten, M.Sc. dosen pada Departemen Teknik Kimia ITB menemukan pompa tangan pemurni air yang menggunakan teknologi membrane yang diberi nama IGW Emergency Pump. Menurutnya, teknologi membrane adalah teknologi pemisahan yang kerjanya di level molekul dan berukuran nano atau sangat kecil sekali. Saat ini pabrik pembuatan membrane tersebut ada di Bandung. Dibangun sejak tahun 2002, memproduksi berbagai alat, yang kesemuanya menggunakan teknologi membrane. Pembuatannya pun semua dilakukan oleh putra bangsa di pabrik ini.

Wenten, alumni terbaik ITB 82 menjelaskan bahwa IGW emergency pump adalah pompa tangan pemurni air dengan kualitas tinggi yang menggunakan teknologi membrane. Pompa air bersih ini mampu menghilangkan kekeruhan, bakteri, alga, spora, sediment, germs dan koloid. Pompa ini praktis, bekerja tanpa listrik, mudah dibawa, relatif murah, kapasitas tinggi, pemasangan sederhana, ramah lingkungan, dan sangat cocok untuk kondisi darurat, seperti di tempat pengungsian saat terjadi bencana, camping, ekspedisi, dan juga di daerah yang rawan air bersih. “Pompa ini kecil bahkan bisa dikempit tetapi kapasitasnya cukup besar, bekerjanya dengan dipompa oleh tangan, kemudian tidak pakai bahan kimia dan pemanasan, tetapi efektif sekali menghilangkan mikroba (bakteri) dan kekeruhan”, ujar Wenten.

Pompa ini seperti pompa sepeda, hanya di dalamnya diisi filter membrane, yang mempunyai saringan halus sekali, yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron. Wenten satu-satunya di Asia Tenggara yang mengembangkan alat berbasis membran. Kata Wenten, alat ini bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan air di tingkat rumah tangga, terutama di daerah yang curah hujannya kecil, utamanya untuk mandi-cuci. Setelah mandi dan cuci, airnya jangan dibuang, bisa dipompa lagi dengan alat ini, dan besoknya bisa dipakai kembali. Alat ini juga bisa dipakai untuk radiator mobil dan berguna bagi nelayan.

Awalnya IGW Emergency Pump ditujukan untuk daerah yang terkena bencana. Dimulai ketika terjadi Tsunami Aceh 2004. ketika itu kebutuhan akan air bersih dirasa sangat mendesak. Alat yang ada ternyata membutuhkan listrik, sementara listrik sangat sulit didapat di daerah bencana. Akhirnya Wenten-pun menciptakan pompa tangan yang bisa memurnikan air hingga bisa dipakai menjadi air minum, mandi, dan masak.

Air yang digunakan untuk dimasukkan pompa bisa berasal dari mana saja, bahkan dari air limbah sekalipun. Tapi yang harus diperhatikan limbah yang dimaksud bukanlah limbah yang mengandung toxic atau racun, karena hal ini sangat tidak disarankan. Mekanismenya, air disedot melalui saluran air, setelah pompa ditekan, air keluar adalah air bersih dengan kualitas sangat tinggi. Kalau air berasal dari air keruh di pedesaan atau daerah rawan bencana bisa langsung diminum. “Tetapi kalau di Jakarta dimana kontaminasi industri tinggi, jangan diminum, karena mungkin sekali mengandung arsenik, chrom atau sianida yang tidak dapat dihilangkan,” tegas Doktor lulusan Denmark ini.

Dengan adanya pompa pemurni air yang menggunakan teknologi membrane ini, diharapkan kebutuhan air bersih di masa yang akan datang dapat terpenuhi. Begitu juga kebutuhan akan air bersih di daerah bencana dan pedesaan. Dengan perawatan yang mudah (yaitu hanya butuh dibersihkan dengan cara dibuka) dan harga yang murah, kita dapat air bersih sepanjang waktu.

Sumber: Ristek

Rabu, 12 Mei 2010

Hiu Berjalan Dari Papua Barat Ditemukan LIPI


Bila kita mendengar kata hiu, yang terlintas di benak kita adalah ikan buas dan perkasa di lautan. Namun, hiu ada berbagai macam, dari hiu macan hingga hiu martil. Di perairan Raja Ampat, Papua Barat, terdapat hiu yang bisa berjalan.

Hiu berjalan ini adalah satu dari 11 species biota laut baru yang ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sumber: LIPI
“Kita bekerja sama dengan beberapa lembaga dan menemukan 11 species baru di sana. Kita melakukan penelitiannya pada tahun 2007 lalu,” ujar Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Suharsono di kantor Pusat Penelitian Oseanografi, Jl Pasir Putih, Ancol Timur, Jakarta Utara, 19 April 2010.

Sebelas species baru tersebut telah diberikan nama dalam lelang ‘Blue Auction’ di Monaco pada tahun 2007 lalu. Lelang tersebut berhasil mendulang dana sebesar US$ 2 juta.

“Hasil lelang tersebut digunakan untuk mendukung penelitian dan program konservasi kelautan di kawasan Kepala Burung Papua,” jelasnya.

Selain untuk mendukung penelitian, lanjut Suharsono, biaya tersebut juga akan dipakai untuk meningkatkan kapasitas ahli taksonomi kelautan Indonesia.

“Agar dapat mendeskripsikan species-species baru dari perairan Indonesia,” katanya.

11 nama species baru yang ditemukan di perairan Raja Ampat, Papua Barat tersebut yakni:
# Hemiscyllium galei atau hiu berjalan dan diambil dari nama Jaffrey Gale.
# Hemiscyllium henryi atau hiu berjalan dengan corak berbeda dan diambil nama dari Wolcott Henry.
# Melanotaenia synergos diambil nama dari Synergos Institute sebagai penghargaan dari pemenang lelang Peggy Dulay.
# Corythoichthys benedetto diambil dari nama mantan Perdana Menteri Italia Benedetto Craxi.
# Pterois andover yang merupakan pilihan nama dari Sindhucajana Sulistyo.
# Pseudanthias charlenae merupakan pilihan nama dari Pangeran Albert II dari Monaco.
# Pictichromis caitlinae merupakan nama yang diambil dari Caitlin Elizabeth Samuel, anak Kim Samuel Johnson sebagai hadiah ulang tahun ke-19.
# Pseudochromis jace dari singkatan nama Jonathan, Alex, Charlie, dan Emily, nama dari empat anak Lisa dan Michael Anderson.
# Pterocaesio monikae diambil dari nama Lady Monika Bacardi
# Chrysiptera giti diambil dari nama perusahaan yang dimiliki Enki Tan dan Cherie Nursalim, GITI
# Paracheliumus nursalim, diambil dari nama Sjamsul dan Itjih Nursalim penghormatan dari Cherie Nursalim dan Michelle Liem.

Rabu, 05 Mei 2010

Tim Robot Indonesia Raih Emas di Robogames 2010, AS



Tim Robot Indonesia dari Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Bandung berhasil mempertahankan gelarnya sebagai jawara dengan meraih medali emas untuk kategori open fire fighting autonomous robot lewat Robot DU 114 di RoboGames 2010 yang digelar di San Mateo County Event Center, Amerika Serikat pada 24-25 April 2010.

Kompetisi yang sebelumnya bernama ROBOlympics ini diikuti oleh 17 negara (AS, Meksiko, Inggris, Brazil, Lithuania, India, Spanyol, Kanada, Indonesia, Korsel, Palestina, Taiwan, Mesir, Jepang, Latvia, Kolombia dan Hong Kong), 59 event, 181 tim, 508 robot, and 667 teknisi (engineer) dari seluruh dunia dan Indonesia hanya diwakili oleh Unikom.

“Saat kompetisi, kita tidak mewakili Unikom lagi. Tapi mewakili Indonesia,” kata Rektor Unikom Eddy Soeryanto Soegoto. ”Ini kedua kalinya tim ini berhasil mempersembahkan yang terbaik bagi Indonesia.”

”Prestasi tim Indonesia luar biasa, bisa mengalahkan peserta yang beragam. Kebanyakan yang dari AS adalah peneliti dari Silicon Valley,” kata Konsul Jenderal Republik Indonesia di San Francisco Asianto Sinambela.

Tim Indonesia mengikuti pertandingan dalam kategori pemadam kebakaran. Dalam kategori tersebut, 14 robot yang bertanding harus dapat mematikan lilin yang ditempatkan secara acak di salah satu ruang dalam labirin pertandingan dengan waktu secepat mungkin.

Dalam pertandingan ini, Tim Robot Indonesia menerjunkan robot dengan bentuk tank, robot berkaki 6, dan robot berkaki 8. Kemampuan robot Indonesia berhasil melewati rintangan naik tangga, memadamkan api dengan semprotan air, dan kembali ke tempat asal mendapatkan nilai bonus dari panitia.

Pada hari Rabu, 28 April 2010 tim yang terdiri dari Yusrila Yeka Kerlooza dan Rodi Hartono dikabarkan akan kembali ke tanah air. Yusrila mengatakan bahwa untuk mengembangkan robot di Tanah Air, perlu kerja sama yang lebih erat lagi antara pemerintah dan swasta, terutama dalam penyediaan dana.

Sumber: Detikinet, Robogames, Kompas

Introduction