Minggu, 20 Desember 2009

Guru, Pahlawan Penuh Jasa

ADA banyak gelar yang diberikan kepada guru, pahlawan tanpa jasa, namun menurut saya, GURU adalah Pahlawan Penuh Jasa, karena hanya melalui gurulah orang dapat mempelajari sesuatu yang baru. Guru dimaksud tidak hanya yang ada dilembaga formal belaka, namun yang bersifat universal.

Tidak akan ada birokrat, teknokrat, legilatif, eksekutif, legislatif, tanpa kehadiran guru. Bahkan gembong teroris, Dr. Azahari, belajar membuat bom, sudah pasti dari guru.




Guru adalah key person dalam setiap pembelajaran agar setiap insani menjadi kritis terhadap setiap situasi dan adaptif terhadap kemajuan teknologi. Sebenarnya, apa peran guru sehingga layak disebut pahlawan penuh jasa? Pertama, guru sebagai pendidik. Peran guru begitu urgen, karena dengan mendidik, guru memelihara dan memberikan arahan yang berupa ajaran, tuntunan, pimpinan tentang sifat-sifat yang baik dan juga tentang kecerdasan pikiran (IQ). Meskipun, untuk suksesnya, peserta didik tidak cukup hanya cerdas pikiran, tetapi juga perlu cerdas emosional, cerdas spiritual, dan cerdas adversitas.

Kedua, guru sebagai pembimbing. Guru memberikan bimbingan yaitu memimpin, mengasuh, dan menuntun peserta didik untuk mengetahui lebih banyak hal yang akan dihadapi. Membimbing berarti guru memberikan petunjuk, asuhan, dan memberikan penjelasan tentang cara mengerjakan dan banyak hal yang perlu diketahui oleh peserta didiknya. Jadi, dengan menjadi pembimbing berarti guru adalah orang yang membimbing, memimpin dan menjadi panutan peserta didiknya.

Ketiga, guru sebagai fasilitator. Guru adalah penyedia, fasilitasi, sarana untuk mencerdas kan peserta didik. Guru menjadi disigner untuk terjadi pembelajaran. Guru menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga peserta didik menjadi berdaya, karena dengan pembelajaran yang menyenangkanlah peserta didik dapat mengolah informasi yang diperlukan untuk lebih adaptif di masa yang akan datang. Dalam peranan ini antara guru dan peserta didik berada sejajar, sebagai mitra untuk memperoleh dan mengolah informasi yang telah disepakati.

Keempat, guru adalah pengajar. Pengajar berarti orang yang mengajar atau memberikan petunjuk kepada peserta didik agar informasi diketahui oleh peserta didik. Menyampaikan informasi (transfer of knowleg) untuk

diketahui dan digunakan agar peserta didik dapat mengisi dan

mengkondisikan dirinya ditengah kemajuan dan perkembangan zaman.

Kelima, guru adalah pembelajar sepanjang masa. Setelah tamat dari

universitas, tentu guru harus belajar lagi, tidak cukup hanya mengandalkan ilmu yang diperoleh dibangku kuliah, karena ketika mengajar guru akan menghadapi tantangan dan rintangan yang tidak kecil, untuk itu sebagai guru kita harus menjadi manusia pembelajar yang rajin membaca buku, tanda-tanda zaman, dan juga perlu mendengarkan setiap informasi yang baik untuk menjadikan guru lebih dari sekedar hanya penjejal ilmu saja. Dari kelima peranan di atas, layaklah kita merenungkan peran guru ditengah derasnya arus globalisasi. Apakah peranan anda sebagai guru?

sebagai pendidik atau pembimbing atau fasilitator atau pengajar ataukah pembelajar? Selamat memilih?


Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sungguh mulia “gelar” yang diberikan bagi para guru di Indonesia. Namun, seperti kata judul di atas, apakah seorang guru masih layak menyandang predikat tersebut? Menurut hemat saya, sebelum mengkaji topik tersebut lebih dalam, kita haruslah sedikit mengubah judul di atas. Ya! Menjadi “Apakah setiap guru masih layak disebut pahlawan tanpa tanda jasa?”. Mengapa demikian? Sebab saya rasa tidaklah bijak untuk menghakimi guru secara profesi. Maksudnya, saya disini ingin menekankan, bahwa tidak semua pencuri itu jahat. Demikian pula, tidak semua ustadz itu baik. Karena itulah, jangan sekali-kali mengadili secara global. Hendaknya kita menilai secara individual. Artinya, kita jangan memukul rata bahwa semua guru itu begini, semua guru itu begitu, dan lain sebagainya. Meskipun secara dominan, anggaplah 99 dari 100 guru kita anggap tidak layak menyandang predikiat di atas, kurang bijak jika kita menulis “Guru tidak layak disebut pahlawan tanpa tanda jasa”. Atau sebaliknya, jika 99 dari 100 guru kita anggap qualified sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, janganlah menulis “Guru memang merupakan pahlawan tanpa tanda jasa”. Lho, mengapa begitu? Kasarnya, kita dapat mengatakan, “Lho, di pernyataan pertama itu kan kasihan seorang guru yang layak disebut pahlawan tanpa tanpa jasa. Dia harus dipandang sebelah mata hanya karena teman-temannya tak layak mendapat julukan yang sama”. Dan, untuk pernyataan yang kedua tentu saja seperti yang anda pikirkan, “Lho, enak banget tuh si guru yang ‘tidak layak’. Gara-gara teman-temannya yang ‘memenuhi syarat’, ia ikut-ikutan juga”. Praktis bukanlah yang terutama. Jangan sampai karena adanya “minat” yang berlebihan untuk melakukan penyederhanaan terhadap yang kompleks, masyarakat kita yang sudah bingung ini semakin dibingungkan oleh argumen kita.
Menurut Amin Tjiasmanto, seorang warga Graha Famili, Surabaya Barat, yang menentukan layak tidaknya guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, hal itu dikembalikan lagi kepada sang guru. , tutur pria kelahiran Kuala Simpang 76 tahun silam tersebut. Lalu, bagaimana dengan banyaknya tudingan bahwa guru sekarang hanyalah mementingkan materi daripada kualitas mengajarnya? “Sudah saya katakan, yang penting adalah dedikasinya bagi negara. Namun, saya ingin bertanya kepada mereka (yang menuding guru cenderung meterialistis), berapakah gaji guru? Apakah sudah mencukupi? Lebih banyak mana dengan gaji orang kantoran? Sulit mana pekerjaannya? Besar mana tanggungjawabnya?”. “Saya rasa, uang yang didapatkan guru tidak pernah melunturkan citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mengapa, karena gaji guru itu, entah berapapun jumlahnya, adalah sebagai suatu balas jasa atas pengorbanannya. Kan tidak mungkin guru disuruh berkorban ngajar dan tidak diberi makan. Gaji guru sebagai tanda terima kasih kita untuk pengorbanan guru. Apalagi, uang itu kan untuk beli nasi juga? Untuk menghidupi keluarga juga? Namun, lain lagi kalau orang yang menjadi guru karena tidak ada profesi lain. Apalagi, jika mereka mengajar asal-asalan. Jelas tidak pantas menyandang julukan mulia tersebut”, lanjut Bapak Amin lagi.
Pendapat Bapak Amin Tjiasmanto ternyata diamini juga oleh Pujiarto, seorang pria berusia 21 tahun asal Banyuwangi yang mengadu nasib di kota Pahlawan. “Guru itu memang pahlawan tanpa tanda jasa. Uang yang diterima guru kan untuk makan juga. Masa guru tidak boleh terima uang? Kita harus tahu terima kasih kepada bapak-ibu guru. Kita bisa baca-tulis, dan lainnya apakah bukan karena guru? Namun itu guru yang baik, lho. Ada juga guru yang karepe dhewe (seenaknya sendiri), ngajar kalau mood saja, dan tidak mementingkan perkembangan anak didiknya, yang penting dapat gaji. Mereka itu kudhu digantung ning wit wae (sebakinya digantung di pohon saja)”, ujarnya dalam wawancara yang dilakukan Sabtu (26/4) malam.
Benjamin Widjojo, seorang warga Kencanasari Timur menambahkan, bahwa seyogyanya kita menghargai guru kita. “Kita pandai karena guru. Jadi, jangan banyak prasangka lagi tentang guru. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Apalagi, kita bisa mengeluarkan argumen yang memojokkan guru seperti sekarang ini, bukankah itu adalah sebuah bukti tak terbantahkan bahwa kita telah dididik guru menjadi manusia yang cerdas intelektual?”, paparnya. Hanya itu? Tidak. Dalam wawancara yang dilakukan Minggu (27/4) malam itu, Bapak Benjamin juga mengecam guru yang tidak memajukan pendidikan Indonesia. “Guru-guru yang tidak pantas mengajar, karena memang tidak kompeten misalnya, mundurlah dahulu. Belajar kembali sebelum maju. Guru yang terlalu tua, jangan ngotot mengajar. Beri kesempatan bagi yang muda. Dan hendaknya guru memfokuskan perhatiannya hanya kepada dunia pendidikan. Bonus, tunjangan, dan lain sebagainya jangan terlalu diperhatikan. Ya, itu yang namanya pengorbanan. Jangan ngisin-ngisini . Gara-gara sedikit guru yang begitu, nama guru secara keseluruhan jadi tercemar. Gara-gara cabai sedikit, pedaslah semangkuk gulai (versi lain dari peribahasa ‘karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga’) ”, tambahnya lagi dengan suara berapi-api.
Dari pendapat Bpk. Amin, Sdr. Pujiarto, serta Bpk. Benjamin, dapat disimpulkan bahwa ada kesamaan di antara pendapat mereka, yakni bahwa kita harus bisa membedakan, mana guru yang memang pahlawan tanpa tanda jasa, dan mana guru yang tidak layak menyandang predikat tersebut. Karena itu, janganlah kita sekali-kali mencap sebuah profesi sedemikian rupa, namun, haruslah kita menilik dari individu ke individu yang lain. Seperti yang saya katakan di awal tadi, jangan sampai ada pihak yang dirugikan (seorang guru ‘baik’ yang harus rela disebut ‘jelek’ karena rekan-rekannya), dan jangan juga ada pihak yang diuntungkan (seorang guru ‘jelek’ yang disebut ‘baik’ karena rekan-rekannya banyak yang ‘baik’).
Maka dari itu, sekarang kita dapat menjawab pertanyaan yang juga menjadi judul bacaan kecil ini, “Seorang Guru, Masihkah Layak Disebut Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?”. Jawabannya, tergantung masing-masing guru yang bersangkutan. Apabila seorang guru memiliki dedikasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan Indonesia, serta tak kenal lelah dan sepenuh hati dalam membimbing siswa, dan memiliki cita-cita yang luhur dalam mengembangkan pendidikan Indonesia, tidak perlu ragu lagi (dan jangan mengungkit lagi soal gaji!). Memang beliau adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Namun, sebaliknya. Jika seorang guru hanya mengajar asal-asalan dan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan perkembangan siswa, dan tidak mengajar dengan baik, jangan ragu untuk menegurnya, “Pemisi, Bapak / Ibu, tolong jangan menjadi guru ya. Kasihan, nanti gara-gara Bapak / Ibu, guru-guru Indonesia dicap buruk oleh masyarakat”.
Ya, hanya seorang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang layak mendidik negeri ini. Terima kasih, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Introduction